Senin, 24 Mei 2010

Kesalahpahaman Terhadap Penelitian Studi Kasus

Bent Flyvbjerg di dalam artikelnya yang berjudul Five Misunderstandings About Case-Study Research (Qualitative Inquiry 2006; 12; 219) pernah menuliskan adanya 5 (lima) kesalahpahaman terhadap penelitian studi kasus. Kajian di dalam artikel tersebut menjadi bahan perdebatan di kalangan pengamat, penulis dan peneliti penelitian studi kasus. Artikel tersebut sekaligus juga membuka mata mereka tentang adanya pandangan miring terhadap ‘kepercayaan’ mereka terhadap penelitian studi kasus pada khususnya dan bahkan terhadap pendekatan penelitian kualitatif pada umumnya.

Sebenarnya melalui artikelnya tersebut, Bent Flyvbjerg berupaya memberikan jawaban atas berbagai pandangan yang dianggap salah (kesalahapahaman) terhadap penelitian studi kasus, yang ditudingkan oleh para peneliti yang berparadigma positivistik pada umumnya dan khususnya peneliti yang menggunakan pendekatan kuantitatif. Disamping itu, artikel ini juga telah menggelitik pakar lain untuk ikut angkat bicara, yang sekaligus memberikan dukungan terhadap Bent Flyvbjerg, seperti pada artikel yang ditulis oleh Lee Peter Ruddin (You Can Generalize Stupid! Social Scientists, Bent Flyvbjerg, and Case Study Methodology; Qualitative Inquiry 2006; 12; 797), dan Rob VanWynsberghe dan Samia Khan (Redefining Case Study; International Journal of Qualitative Methods 6-2-Juni 2007).

Marilah kita bahas satu per-persatu dari 5 (lima) kesalahpahaman menurut Bent Flyvbjerg tersebut.

1. Misunderstanding 1: General, theoretical (context-independent) knowledge is more valuable than concrete, practical (context-dependent) knowledge.

Kesalahpahaman ini muncul karena adanya ‘kepercayaan’ yang sangat mendalam dari kaum positivistik bahwa teori-teori general yang sudah diakui kebenarannya selama ini adalah yang telah dibangun dan diuji melalui berbagai penelitian, sehingga semakin mendekati kebenaran yang mendekati mutlak. Oleh karena itu, tentu saja harus dipadang lebih bernilai dibandingkan dengan pengetahuan yang dibangun dari penelitian praktis dan konkret yang selama ini dilakukan melalui penelitian studi kasus pada khususnya dan penelitian kualitatif dengan paradigma postpositivistik pada umumnya. Sementara itu, menurut Ruddin (2006, hal 798-799), penelitian yang bersifat praktis-konkrit memiliki keunggulan lain, yaitu bersifat evaluatif terhadap penerapan teori-teori general tersebut yang hasilnya sangat bermanfaat bagi perbaikan dan bahkan penemuan-penemuan baru yang lebih baik dan orisinil; dan untuk menunjukkan pencapaian kebenaran (truth) baru yang telah dilakukan manusia berdasarkan kepada kehidupan yang nyata. Jadi menurut pada penganut pendekatan postpostivistik ini, penelitian kualitatif, termasuk penelitian studi kasus memiliki peran dan posisinya tersendiri terhadap pengembangan pengetahuan.

2. Misunderstanding 2: One cannot generalize on the basis of an individual case; therefore, the case study cannot contribute to scientific development.

Kesalahpahaman ini muncul karena adanya logika dari para penganut positivistik yang beranggapan bahwa bagaimana mungkin satu kasus (yang dilogikakan ‘satu kasus’ sama dengan ‘satu sampel’ pada penelitian kuantitatif) dapat merepresentasikan suatu populasi yang sedemikian banyaknya. Logika ini langsung dibantah bahwa kasus tidak dapat disamakan dengan sampel, karena pada dasarnya kasus mewakili dirinya sendiri, bukan sebagai representasi dari suatu populasi. Oleh karena itu, obyek penelitian yang telah dipandang sebagai kasus, harus diteliti secara komprehensif, holistik dan menyeluruh, karena hasilnya harus dapat mendiskripsikan kasus tersebut secara lengkap dan utuh. Hasil penelitian terhadap kasus yang menyeluruh itu sendiri tentu saja dapat menyumbangkan pada pengembangan pengetahuan. Contohlah, apabila selama ini pengembangan teori arsitektur benteng kolonial di Indonesia selama ini selalu mengacu pada benteng buatan Belanda, tetapi jika arsitek telah meneliti sebuah benteng kolonial buatan Inggris yang satu-satunya ada di Indonesia, yaitu di Bengkulu, maka melalui hasil penelitiannya itu, ia akan menyumbangkan pengetahuan dan bahkan teori arsitektur benteng kolonial Indonesia yang lain, yang baru dan orisinil.

3. Misunderstanding 3: The case study is most useful for generating hypotheses; that is, in the first stage of a total research process, whereas other methods are more suitable for hypotheses testing and theory building.

Kesalahpahaman ini muncul karena adanya anggapan dari kaum positivistik bahwa kasus hanya bermanfaat untuk membangun hipotesis penelitian yang dilakukan pada bagian awal penelitian. Sedangkan, bagian yang terpenting dari penelitian adalah menguji hipotesis dengan sampel responden yang lebih banyak. Dengan kata lain, hasil dari penelitian studi kasus harus digeneralisasi melalui penelitian dengan pendekatan positivistik, agar kebenaran yang dihasilkan diakui secara lebih luas. Sesungguhnya, seperti telah dijelaskan pada kesalahpahaman nomer satu, kasus harus dipandang sebagai sesuatu yang mewakili dirinya sendiri. Oleh karena itu, pengetahuan dan kebenaran yang dihasilkan dari penelitian terhadap kasus tersebut sangat melekat pada konteks kasus tersebut, sehingga tidak dapat digeneralisasikan seperti halnya pada penelitian positivistik. Meskipun demikian, kebenaran dan pengetahuan yang dihasilkan dari suatu penelitian studi kasus sering menjadi ‘ilham’ atau ‘stimulan’ bagi para peneliti positivistik untuk melakukan penelitian kuantitatif.

4. Misunderstanding 4: The case study contains a bias toward verification, that is, a tendency to confirm the researcher’s preconceived notions.

Kesalahpahaman ini muncul karena adanya tuduhan bahwa para peneliti sosial, khususnya yang menggunakan penelitian kualitatif atau berparadigma postpositivistik bersifat cenderung telah memiliki prasangka terlebih dahulu terhadap obyek penelitiannya. Dengan demikian, tuduhan ini pun mengarah kepada pada peneliti studi kasus. Hal ini segera dibantah dengan alasan bahwa setiap peneliti studi kasus akan menggunakan berbagai sumber data yang banyak secara terperinci dan menyeluruh yang sangat bersifat kontekstual dan kasuistis, sehingga sulit bagi penelitinya untuk menyelaraskan prasangkanya dengan temuan-temuan di lapangannya. Disamping itu, penggunaan berbagai metoda untuk untuk memvalidasi data di dalam penelitian studi kasus, seperti metoda triangulasi, juga menyebabkan data dan analisis yang dilakukan bersifat obyektif.

5. Misunderstanding 5: It is often difficult to summarize and develop general propositions and theories on the basis of specific case studies.

Bagi para peneliti dengan paradigma positivistik, sulit rasanya untuk menerima hasil dari penelitian atas kasus-kasus khusus (spesifik) sebagai sebuah teori. Karena khusus (spesifik) maka teorinya pun tentu saja tidak bersifat umum. Meskipun demikian, pengetahuan yang berhasil digali dari suatu kebenaran yang khusus-pun tetap harus dianggap sebagai suatu pengetahuan. Dengan memperhatikan kebenaran-kebenaran yang bersifat spesifik, lokal dan kontekstual, maka pengetahuan jadi akan lebih berkembang secara lebih kaya. Dengan kata lain, melalui cross-case analisis, atau melalui dialog teori, maka kebenaran-kebenaran yang berhasil diangkat melalui penelitian kualitatif dapat memperkaya pengetahuan melalui cara, peran dan posisinya yang tersendiri, dan bahkan dapat diangkat menjadi teori tersendiri. Yin (2009) dan Stake (2005, 2006) telah menunjukkan bahwa hasil-hasil penelitian studi kasus yang khusus pun dapat diangkat menjadi suatu teori.

Singkatnya, kemunculan penelitian studi kasus adalah karena adanya obyek penelitian yang harus dipandang sebagai kasus. Hal ini berdasarkan pendapat Stake (2005) bahwa ‘Case study is not a methodological choice, but a choice what it is to be studied’. Jadi yang terpenting dari penelitian studi kasus adalah memilih kasus yang sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian.

Proses Penelitian Studi Kasus

Seperti halnya pembahasan tentang pengertian dan jenis-jenis penelitian studi kasus yang berbeda-beda, pembahasan proses penelitian studi kasus juga berbeda-beda di antara para pakar. Pada umumnya perbedaan proses tersebut bersumber dari perbedaan cara pandang mereka terhadap kasus. Dengan kata lain, perbedaan proses dapat terjadi karena perbedaan paradigma yang digunakan di dalam penelitian studi kasus.

Dari kesimpulan pembahasan terhadap paradigma dan jenis-jenis penelitian studi kasus, dapat diketahui bahwa pada dasarnya penelitian studi kasus dapat dikelompokkan menjadi dua. Yang pertama adalah adalah penelitian studi kasus yang menggunakan paradigma postpositivistik. Jenis penelitian studi kasus ini lebih menekankan pada kasus sebagai obyek yang holistik sebagai fokus penelitian, seperti yang sring dijelaskan oleh Stake (2005) dan Creswell (2007). Sedangkan yang lain adalah penelitian studi kasus yang menggunakan paradigma penelitian positivistik. Penelitian studi kasus ini secara umum ditandai dengan penggunaan kajian literatur atau teori pada penelitiannya. Jenis penelitian ini khususnya adalah penelitian studi kasus terpancang (embedded) yang terikat pada penggunaan unit analisis, seperti yang ditunjukkan dan dijelaskan oleh Yin (2003a, 2009).


Sesuai dengan pendapatnya, yaitu bahwa proses penelitian studi kasus adalah penelitian yang terfokus pada kasus yang diteliti, Stake (2005) menekankan pada pentingnya kasus pada setiap tahapan proses penelitian studi kasus. Berdasarkan pendapatnya tersebut, Stake (2005, 2006) menjelaskan proses penelitian studi kasus adalah sebagai berikut:


1. Menentukan dengan membatasi kasus
. Tahapan ini adalah upaya untuk memahami kasus, atau dengan kata lain membangun konsep tentang obyek penelitian yang diposisika sebagai kasus. Dengan mengetahui dan memahami kasus yang akan diteliti, peneliti tidak akan salah atau tersesat di dalam menentukan kasus penelitiannya. Pada proposal penelitian, bentuknya adalah latar belakang penelitian.

2. Memilih fenomena, tema atau isu penelitian. Pada tahapan ini, peneliti membangun pertanyaan penelitian berdasarkan konsep kasus yang diketahuinya dan latar belakang keinginannya untuk meneliti. Pertanyaan penelitian dibangun dengan sudah mengandung fenomena, tema atau isu penelitian yang dituju di dalam proses pelaksanaan penelitian.

3. Memilih bentuk-bentuk data yang akan dicari dan dikumpulkan. Data dan bentuk data dibutuhkan untuk mengembangkan isu di dalam penelitian. Penentuan data yang dipilih disesuaikan dengan karakteristik kasus yang diteliti. Pada umumnya bentuk pengumpulan datanya adalah wawancara baik individu maupun kelompok; pengamatan lapangan; peninggalan atau artefak; dan dokumen.

4.
Melakukan kajian triangulasi terhadap kunci-kunci pengamatan lapangan, dan dasar-dasar untuk melakukan interpretasi terhadap data. Tujuannya adalah agar data yang diperoleh adalah benar, tepat dan akurat.

5.
Menentukan interpretasi-interpretasi alternatif untuk diteliti. Alternatif interpretasi dibutuhkan untuk menentukan interpretasi yang sesuai dengan kondisi dan keadaan kasus dengan maksud dan tujuan penelitian. Setiap interpretasi dapat menggambarkan makna-makna yang terdapat di dalam kasus, yang jika diintegrasikan dapat menggambarkan keseluruhan kasus.

6.
Membangun dan menentukan hal-hal penting dan melakukan generalisasi dari hasil-hasil penelitian terhadap kasus. Stake (2005, 2006) selalu menekankan tentang pentingnya untuk selalu mengeksploasi dan menjelaskan hal-hal penting yang khas yang terdapat di dalam kasus. Karena pada dasarnya kasus dipilih karena diperkirakan mengandung kekhususannya sendiri. Sedangkan generalisasi untuk menunjukkan posisi hal-hal penting atau kekhususan dari kasus tersebut di dalam peta pengetahuan yang sudah terbangun.

Berdasarkan pendapat Stake (1995, 2005, dan 2006), Creswell (2007) menjelaskan proses penelitian studi kasus secara lebih sederhana dan praktis, adalah sebagai berikut:

1.
Tahapan pertama yang harus dilakukan oleh peneliti adalah menentukan apakah pendekatan penelitian kasus yang akan dipergunakan telah sesuai dengan masalah penelitiannya. Suatu studi kasus menjadi pendekatan yang baik adalah ketika penelitinya mampu menentukan secara jelas batasan-batasan kasusnya, dan memiliki pemahaman yang mendalam terhadap kasus-kasusnya, atau mampu melakukan perbandingan beberapa kasus.

2.
Peneliti mengidentifikasikan kasus atau kasus-kasus yang akan ditelitinya. Kasus tersebut dapat berupa seorang individu, beberapa individu, sebuah program, sebuah kejadian, atau suatu kegiatan. Untuk melakukan penelitian studi kasus, Creswell (2007) menyarankan penelitinya untuk mempertimbangkan kasus-kasus yang berpotensi sangat baik dan bermanfaat. Kasus tersebut dapat berjenis tunggal atau kolektif; banyak lokasi atau lokasi tunggal; terfokus pada kasusnya itu sendiri atau pada isu yang ingin diteliti (intrinsic atau instrumental) (Stake, 2005; Yin, 2009). Creswell (2007) juga menyarankan bahwa untuk menentukan kasus dapat mempertimbangkan berbagai alasan atau tujuan, seperti kasus sebagai potret (gambaran contoh yang bermanfaat maksimal); kasus biasa; kasus yang terjangkau; kasus yang berbeda dan sebagainya.

3.
Melakukan analisis terhadap kasus. Analisis kasus dapat dilakukan dalam 2 (dua) jenis, yaitu analisis holistik (holistic) terhadap kasus, atau analisis terhadap aspek tertentu atau khusus dari kasus (embedded) (Yin, 2009). Melalui pengumpulan data, suatu penggambaran yang terperinci akan muncul dari kajian peneliti terhadap sejarah, kronologi terjadinya kasus, atau gambaran tentang kegiatan dari hari-ke hari dari kasus tersebut.
Setelah menggambarkan secara holistik, kajian dilakukan lebih terperinci pada beberapa kunci atau tema yang terdapat di balik kasus, yang dilakukan dengan maksud tidak untuk melakukan generalisasi, tetapi lebih banyak untuk mengungkapkan kompleksitas kasus. Caranya dapat dilakukan dengan mengkaji isu-isu yang membentuk kasus, yang diikuti dengan menggali tema-tema yang berada di balik isu tersebut. Kajian ini bersifat sangat kaya terhadap penjelasan tentang konteks atau seting dari kasus tersebut (Yin, 2009). Ketika melakukan penelitian studi kasus jamak, format kajian pertama yang dilakukan adalah kajian terhadap setiap kasus terlebih dahulu untuk mengambarkan isu-isunya dan tema-temanya secara terperinci, yang disebut sebagai within-case analysis (Yin 2009). Selanjutnya, tema-tema hasil kajian per-kasus dikaji saling-silangkan dengan menggunakan analisis saling-silang kasus, atau yang disebut sebagai sebuah cross-case analysis, dan melakukan pemaknaan serta mengintegrasikan makna-makna yang berhasil digali dari kasus-kasus tersebut.

4.
Sebagai tahapan akhir analisis interpretif, peneliti melaporkan makna-makna yang dapat dipelajari, baik pembelajaran terhadap isu yang berada di balik kasus yang dilakukan melalui penelitian kasus instrumental (instrumental case research), maupun pembelajaran dari kondisi yang unik atau jarang yang dilakukan melalui penelitian studi kasus mendalam (intrinsic case study research). Menurut Lincoln dan Guba (1985), tahapan ini disebut sebagai tahapan untuk menggali pembelajaran terbaik yang dapat diambil dari kasus yang diteliti.

Berdasarkan penjelasan proses penelitian studi kasus yang dijelaskan oleh Creswell (1998), Hancock dan Algozzine (2006) memberikan pandangan mereka tentang proses penelitian studi kasus. Meskipun demikian, pada kenyataannya, penjelasannya mereka relatif jauh berbeda dengan konsep proses penelitian studi kasus Creswell (1998) yang cenderung berdasarkan paradigma postpostivistik. Sementara itu, mereka lebih cenderung memandang penelitian studi kasus sebagai penelitian yang berdasarkan kepada paradigma positivistik, karena menempatkan kajian teori pada bagian awal penelitian. Berikut ini adalah penjelasan Hancock dan Algozzine (2006) tentang proses penelitian studi kasus, sebagai berikut:


1.
Mempersiapkan panggung. Tahapan ini adalah tahapan pertama yang harus dilakukan oleh seorang peneliti studi kasus. Tahapan ini bertujuan untuk mempersiapkan berbagai hal yang perlu diketahui sebagai bekal peneliti untuk melakukan penelitian studi kasus. Persiapan tersebut meliputi pengetahuan dan ketrampilan peneliti di dalam menjalankan penelitian studi kasus. Hancock dan Algozzine (2006) menyarankan untuk memahami karakteristik penelitian studi kasus, sehingga peneliti dapat memastikan bahwa pendekatan dan metoda penelitian studi kasus adalah tepat untuk penelitiannya.

2.
Menentukan apa yang telah diketahui. Tahapan ini dilakukan dengan melakukan kajian teori dari literatur. Tujuannya adalah untuk membangun konsep dasar penelitian, menentukan pentingnya penelitian; pertanyaan penelitian; mengkaji kelebihan dan kelemahan pendekatan dan metoda penelitian lain yang pernah dipergunakan untuk meneliti isu atau kasus yang sama; penentuan pendekatan dan metoda penelitian studi kasus; menentukan gaya atau bentuk yang akan dipergunakan oleh peneliti untuk mengembangkan pengetahuan yang berkaitan dengan pertanyaan penelitian. Untuk mencapai tujuan tersebut, peneliti menggunakan teori sebagai pengetahuan yang terdapat di dalam litreratur sebagai acuannya. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut ini:
Your purposes in reviewing the literature are to establish the conceptual foundation for the study, to define and establish the importance of your research question, to identify strengths and weaknesses of models and designs that others have used to study it, and to identify the style and form used by experts to extend the knowledge base surrounding your question (Hancock dan Algozzine, 2006, 26).

3.
Menentukan rancangan penelitian. Pada tahapan ini, peneliti menentukan rancangan penelitian yang tepat terhadap maksud dan tujuan penelitiannya, serta khususnya terhadap kasus yang ditelitinya. Di dalam menentukan rancangan penelitian, hal perlu dilakukan adalah menentukan jenis penelitian studinya. Jenis-jenis tersebut dapat berupa apakah penelitian studi kasus yang dipilih berupa penelitian studi kasus tunggal, majemuk, mendalam, holistik, dan sebagainya. Untuk menentukan hal tersebut, Hancock dan Algozzine (2006) menyarankan untuk mempertimbangkan fungsi kasus di dalam penelitian, apakah sebagai lokus atau instrumen; karakteristik penelitiannya, seperti mengungkapkan, menggambarkan atau menjelaskan sesuatu; dan disiplin ilmu dari penelitiannya. Jenis penelitian studi kasus yang dipilih akan menentukan rancangan penelitiannya, termasuk jenis data yang dibutuhkan, metoda pengumpulan data, dan metoda analisisnya.

4.
Mengumpulkan informasi melalui wawancara. Pada tahapan ini, peneliti melakukan pengumpulan data, khususnya melalui metoda wawancara. Wawancara merupakan metoda utama di dalam penelitian studi kasus kualitatif pada khususnya, dan pendekatan penelitian kualitatif pada umumnya. Bentuk-bentuk wawancara dapat berupa wawancara individu maupun kelompok. Untuk melakukan tahapan ini, peneliti harus mempersiapkan panduan wawancara, yang dikembangkan dai hasil kajian literatur. Disamping itu, peneliti juga harus menentukan sumber informasi dan teknik-teknik wawancara. Pelaksanaan wawancara dilakukan pada saat sumber informan di lokasi sebagaimana ia melakukan kegiatan sehari-harinya.

5.
Mengumpulkan informasi melalui pengamatan lapangan. Pada tahapan ini, peneliti melakukan pengamatan terhadap berbagai obyek pada kondisi nyata di kejadian sehari-harinya. Obyek yang diamati bermacam-maca, dapat berupa kondisi lingkungan kasus, individu atau kelompok orang yang sedang melakukan kegiatan yang terkait dengan unit analisis, dan operasionalisasi suatu peralatan. Di dalam pengamatannya, peneliti mencatat dan memberikan tema atas obyek atau kejadian yang diamatinya.

6.
Merumuskan dan menginterpretasikan informasi. Pada tahapan ini, peneliti melakukan perumusan dan interpretasi atas informasi yang dilakukannya. Seperti halnya pendekatan penelitian kualitatif pada umumnya, peneliti melakukan perumusan dan interpretasi tidak dilakukan pada akhir pengumpulan data, tetapi dilakukan selama melakukan pengumpulan data, baik wawancara maupun pengamatan lapangan. Sehingga pada tahapan akhir penelitian, peneliti dapat memperoleh hasil akhir dari kesinambungan proses interpretasi atas informasi yang didapatkannya selama melakukan penelitian. Hancock dan Algozzine (2006) menyarankan agar selama melakukan penelitian studi kasus, peneliti selalu memfokuskan kepada upaya untuk selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian, agar tidak melenceng dari maksud dan tujuan penelitiannya. Hal ini diperlukan karena penelitian akan mendapatkan banyak sekali informasi selama melakukan penelitian, sehingga seringkali dapat membelokkan fokus penelitian dari maksud dan tujuannya.

7.
Menyusun laporan penelitian. Tahapan ini merupakan tahapan terakhir dari penelitian studi kasus. Pada tahapan ini, penulis menuangkan hasil penelitiannya dalam laporan dengan urutan yang logis dan dapat dicerna oleh pembacanya. Hancock dan Algozzine (2006) menyatakan ada 3 (tiga) strategi yang dapat dipergunakan untuk menyusun laporan penelitian studi kasus, yaitu analisis tematik, analisis kategorial dan analisis naratif. Strategi analisis tematik adalah memberikan pelaporan dengan menekankan pada jawaban-jawaban atas pertanyaan penelitian, sehingga menghasilkan tema-tema pelaporan yang sesuai dengan pertanyaan penelitian. Karena kemudahannya, strategi ini sangat tepat digunakan oleh peneliti pemula. Sementara itu strategi analisis kategorial berupaya untuk mengembangkan pelaporan pada penelitian studi kasus jamak yang menghasilkan kategori-kategori atas unit-unit analisis atau kasus-kasus yang diteliti. Sementara itu, strategi analisis naratif adalah pelaporan yang menjelaskan dan menggambarkan kembali data-data yang diperoleh selama pelaksanaan penelitian berdasarkan maksud dan tujuan penelitinya.

Sementara itu, Yin (2003a, 2009) membagi proses penelitian menjadi 2 (dua) jenis, yaitu proses penelitian studi kasus tunggal dan proses penelitian studi kasus jamak. Kedua proses tersebut pada dasarnya mengacu pada proses dasar yang sama. Perbedaannya adalah pada jumlah kasus pada penelitian studi kasus jamak yang lebih dari satu, sehingga membutuhkan replikatif proses yang lebih panjang untuk mengintegrasikan hasil-hasil kajian dari tiap-tiap kasus. Untuk lebih jelasnya, proses penelitian studi kasus menurut Yin (2009) adalah sebagai berikut:


1.
Mendefinsikan dan merancang penelitian. Pada tahap ini, peneliti melakukan kajian pengembangan teori atau konsep untuk menentukan kasus atau kasus-kasus dan merancang protokol pengumpulan data. Pada umumnya, pengembangan teori dan konsep digunakan untuk mengembangkan pertanyaan penelitian dan proposisi penelitian. Proposisi penelitian memiliki posisi yang mirip dengan hipotesis, yaitu merupakan jawaban teoritis atas pertanyaan penelitian. Merkipun demikian, proposisi lebih cenderung menggambarkan prediksi konsep akhir yang akan dituju di dalam penelitian. Proposisi merupakan landasan bagi peneliti untuk menetapkan kasus paa umumnya dan unit analisis pada khususnya. Tahapan ini sama untuk penelitian studi kasus tunggal maupun jamak.

2.
Menyiapkan, mengumpulkan dan menganalisis data. Pada tahap ini, peneliti melakukan persiapan, pengumpulan dan analisis data berdasarkan protokol penelitian yang telah dirancang sebelumnya. Pada penelitian studi kasus tunggal, penelitian dilakukan pada kasus terpilih hingga dilanjutkan pada tahapan berikutnya. Pada penelitian studi kasus jamak, penelitian pada setiap kasus dilakukan sendiri-sendiri hingga menghasilkan laporan sendiri-sendiri juga.

3.
Menganalisis dan Menyimpulkan. Tahapan ini merupakan tahapan terakhir dari proses penelitian studi kasus. Pada penelitian studi kasus tunggal, analisis dan penyimpulan dari hasil penelitian digunakan untuk mengecek kembali kepada konsep atau teori yang telah dibangun pada tahap pertama penelitian. Sementara itu, pada penelitian studi kasus jamak, analisis dan penyimpulan dilakukan dengan mengkaji saling-silangkan hasil-hasil penelitian dari setiap kasus. Seperti halnya pada penelitian studi kasus tunggal, hasil analisis dan penyimpulan di gunakan untuk menetapkan atau memperbaiki konsep atau teori yang telah dibangun pada awal tahapan penelitian.

Untuk lebih jelasnya, proses penelitian studi kasus menurut Yin (2003a, 2009) tersebut dapat dilihat pada gambar diagram berikut ini:












Gambar: Proses Penelitian Studi Kasus (Sumber: Yin, 2009, 57)


Sabtu, 15 Mei 2010

Tujuan Penelitian Studi Kasus

Seperti halnya pada tujuan penelitian lainnya pada umumnya, pada dasarnya peneliti yang menggunakan metoda penelitian studi kasus bertujuan untuk memahami obyek yang ditelitinya. Meskipun demikian, berbeda dengan penelitian yang lain, penelitian studi kasus bertujuan secara khusus menjelaskan dan memahami obyek yang ditelitinya secara khusus sebagai suatu ‘kasus’. Berkaitan dengan hal tersebut, Yin (2003a, 2009) menyatakan bahwa tujuan penggunaan penelitian studi kasus adalah tidak sekedar untuk menjelaskan seperti apa obyek yang diteliti, tetapi untuk menjelaskan bagaimana keberadaan dan mengapa kasus tersebut dapat terjadi. Dengan kata lain, penelitian studi kasus bukan sekedar menjawab pertanyaan penelitian tentang ‘apa’ (what) obyek yang diteliti, tetapi lebih menyeluruh dan komprehensif lagi adalah tentang ‘bagaimana’ (how) dan ‘mengapa’ (why) obtek tersebut terjadi dan terbentuk sebagai dan dapat dipandang sebagai suatu kasus. Sementara itu, strategi atau metoda penelitian lain cenderung menjawab pertanyaan siapa (who), apa (what), dimana (where), berapa (how many) dan seberapa besar (how much).

Sementara itu, Stake (2005) menyatakan bahwa penelitian studi kasus bertujuan untuk mengungkapkan kekhasan atau keunikan karakteristik yang terdapat di dalam kasus yang diteliti. Kasus itu sendiri merupakan penyebab dilakukannya penelitian studi kasus, oleh karena itu, tujuan dan fokus utama dari penelitian studi kasus adalah pada kasus yang menjadi obyek penelitian. Untuk itu, segala sesuatu yang berkaitan dengan kasus, seperti sifat alamiah kasus, kegiatan, fungsi, kesejarahan, kondisi lingkungan fisik kasus, dan berbagai hal lain yang berkaitan dan mempengaruhi kasus harus diteliti, agar tujuan untuk menjelaskan dan memahami keberadaan kasus tersebut dapat tercapai secara menyeluruh dan komprehensif.


Secara khusus, berkaitan dengan karakteristik kasus sebagai obyek penelitian, VanWynsberghe dan Khan (2007) menjelaskan bahwa tujuan penelitian studi kasus adalah untuk memberikan kepada pembaca laporannya tentang ‘rasanya berada dan terlibat di dalam suatu kejadian’, dengan menyediakan secara sangat terperinci analisis kontekstual tentang kejadian tersebut. Untuk itu, peneliti studi kasus harus secara hati-hati menggambarkan kejadian tersebut dengan memberikan pengertian dan hal-hal yang lainnya dan menguraikan kekhususan dari kejadian tersebut. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut ini:


Case studies aim to give the reader a sense of “being there” by providing a highly detailed, contextualized analysis of an “an instance in action”. The researcher carefully delineates the “instance,” defining it in general terms and teasing out its particularities (VanWynsberghe dan Khan, 2007, 4).

Sementara itu, Doodley (2005) menyatakan bahwa penelitian studi kasus merupakan metoda penelitian yang mampu membawa pemahaman tentang isu yang kompleks dan dapat memperkuat pemahaman tentang pengetahuan yang telah diketahui sebelumnya. Kelebihan dari metoda penelitian studi kasus adalah pada kemampuannya untuk mengungkapkan kehidupan nyata yang kontemporer, situasi kemanusiaan, dan pandangan umum melalui tentang suatu kasus, melalui laporan-laporan penelitinya. Hasil penelitian studi kasus dapat menghubungkan secara langsung antara pengalaman pembacanya yang awam dengan kasus terlihat sangat kompleks, dan memfasilitasi pemahaman tentang situasi keadaan nyata yang kompleks tersebut untuk lebih mudah dipahami oleh mereka. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan-kutipan berikut ini:


Case study research is one method that excels at bringing us to an understanding of a complex issue and can add strength to what is already known through previous research (Dooley, 2005, 335).

The advantages of the case study method are its applicability to reallife, contemporary, human situations and its public accessibility through written reports. Case study results relate directly to the common reader’s everyday experience and facilitate an understanding of complex real-life situations
(Dooley, 2005, 344).

Secara filosofis, berkaitan dengan kasus sebagai obyek yang memiliki kekhususan, Flyvbjerg (2006) menjelaskan bahwa penelitian studi kasus adalah penelitian yang sangat ideal untuk membuktikan filosofi Karl Popper tentang fasifikasionisme, yang menyatakan perlunya pandangan kritis terhadap setiap fenomena dan kejadian. Penganut faham fasifikasionisme itu sendiri selalu melihat fenomena sosial secara kritis, dengan berupaya mengungkapkan kesalahan-kesalahan yang berada dibaliknya, sebagai masukan untuk perbaikan dan penyempurnaan selanjutnya. Penelitian studi kasus dapat menyediakan kasus-kasus yang dapat menunjukkan kesalahan atau ketidaksempurnaan, sebagai masukan untuk tindakan berikutnya. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut ini:

The case study is ideal for generalizing using the type of test that Karl Popper called “falsification,” which in social science forms part of critical reflexivity. Falsification is one of the most rigorous tests to which a scientific proposition can be subjected: If just one observation does not fit with the proposition, it is considered not valid generally and must therefore be either revised or rejected (Flyvbjerg, 2006, 225).

Pada akhirnya, menurut Lincoln dan Guba (1985), penelitian studi kasus adalah penelitian yang berupaya untuk mengungkapkan berbagai pelajaran yang berharga (best learning practices) yang diperoleh dari pemahaman terhadap kasus yang diteliti. Pelajaran tersebut meliputi tentang bagaimana masalah kasus yang sebnarnya; bagaimana kaitan kasus dengan konteks lingkungan dan bidang keilmuannya; apa teori yang terkait dengannya; apa dan bagaimana keterkaitan isu (unit analisis) yang ada di dalamnya; dan akhirnya apa pelajaran yang dapat diambil untuk memperbaiki dan menyempurnakan langkah kehidupan manusia ke depan.

Jenis-jenis Penelitian Studi Kasus

Beberapa pakar mengemukakan jenis-jenis penelitian studi kasus dalam penjelasan yang berbeda-beda. Perbedaan penentuan jenis tersebut disebabkan oleh cara pandang masing-masing pakar terhadap posisi dan kedudukan kasus di dalam penelitian. Meskipun demikian, secara umum, terdapat pandangan yang sama di antara mereka, yaitu memposisikan dan memperlakukan obyek penelitian sebagai kasus.

Stake (2005) membagi penelitian studi kasus berdasarkan karakteristik dan fungsi kasus di dalam penelitian. Stake sangat yakin bahwa kasus bukanlah sekedar obyek biasa, tetapi kasus diteliti karena karakteristiknya yang khas. Hal ini sesuai dengan penjelasannya yang menyatakan bahwa penelitian studi kasus bukanlah sekedar metoda penelitian, tetapi adalah tentang bagaimana memilih kasus yang tepat untuk diteliti. Berdasarkan hal tersebut, Stake (2005) membagi penelitian studi kasus menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:

1. Penelitian studi kasus mendalam

Penelitian studi kasus mendalam (intrinsic case study) adalah penelitian studi kasus yang dilakukan dengan maksud untuk yang pertama kali dan terakhir kali meneliti tentang suatu kasus yang khusus. Hal ini dilakukan tidak dengan maksud untuk menempatkan kasus tersebut mewakili dari kasus lain, tetapi lebih kepada kekhususan dan keunikannya. Pada awalnya, penelitianya mungkin tidak bermaksud untuk membangun teori dari penelitiannya, tetapi kelak mungkin ia akan dapat membangun teori apabila kasus tersebut memang menjadi satu-satunya di dunia. Pada umumnya, para peneliti studi kasus mendalam ini bermaksud untuk meneliti atau menggali hal-hal yang mendasar yang berada dibalik kasus tersebut. Kata intrinsic itu sendiri, menurut Kamus Merriam-Webster adalah sebagai berikut:

1 a : belonging to the essential nature or constitution of a thing *the intrinsic worth of a gem* *the intrinsic brightness of a star* b : being or relating to a semiconductor in which the concentration of charge carriers is characteristic of the material itself instead of the content of any impurities it contains

2 a : originating or due to causes within a body, organ, or part *an intrinsic metabolic disease* b : originating and included wholly within an organ or part *intrinsic muscles*

Pengertian tentang intrinsic di atas menunjukkan bahwa penelitian studi kasus mendalam bermaksud menggali hal yang mendasar (esensi) yang menyebabkan terjadinya atau keberadaan dari suatu kasus.

2. Penelitian studi kasus intrumental

Penelitian studi kasus intrumental (instrumental case study) adalah penelitian studi kasus yang dilakukan dengan meneliti kasus untuk memberikan pemahaman mendalam atau menjelaskan kembali suatu proses generalisasi. Dengan kata lain, kasus diposisikan sebagai sarana (instrumen) untuk menunjukkan penjelasan yang mendalam dan pemahaman tentang sesuatu yang lain dari yang biasa dijelaskan. Melalui kasus yang ditelitinya, peneliti bermaksud untuk menunjukkan adanya sesuatu yang khas yang dapat dipelajari dari suatu kasus tersebut, yang berbeda dari penjelasan yang diperoleh dari obyek-obyek lainnya.

3. Penelitian studi kasus jamak

Penelitian studi kasus jamak (collective or mutiple case study) adalah penelitian studi kasus yang menggunakan jumlah kasus yang banyak. Penelitian studi kasus ini adalah pengembangan dari penelitian studi kasus instrmental, dengan menggunakan kasus yang banyak. Asumsi dari penggunaan kasus yang banyak adalah bahwa kasus-kasus yang digunakan di dalam penelitian studi kasus jamak mungkin secara individual tidak dapat menggambarkan karakteristik umumnya. Masing-masing kasus mungkin menunjukkan sesuatu yang sama atau berbeda-beda. Tetapi apabila dikaji secara bersama-sama atau secara kolektif, dapat menjelaskan adanya benang merah di antara mereka, untuk menjelaskan karakteristik umumnya.

Kasus-kasus di dalam penelitian studi kasus jamak dipilih karena dipandang bahwa dengan memahami mereka secara kolektif, dapat meningkatkan pemahaman terhadap sesuatu, dan bahkan dapat memperbaiki suatu teori dengan menunjukkan fakta dan bukti yang lebih banyak. Stake (2005) menunjukkan contoh-contoh penelitian studi kasus kolektif adalah dengan menunjuk pada buku-buku kumpulan dari artikel-artikel yang membahas suatu isu yang sama. Di dalam buku tersebut, editornya harus mampu menunjukkan benang merah dari masing-masing artikel, sehingga pembacanya akan mendapatkan pemahaman menyeluruh yang mendalam tentang isu tersebut berdasarkan kajian yang dilakukan pada masing-masing artikel.

Sementara itu, Creswell (2007) menyatakan bahwa jenis-jenis penelitian studi kasus ditentukan berdasarkan batasan dari kasus, seperti seorang individu, beberapa individu, sekelompok, sebuah program atau sebuah kegiatan. Disamping itu, jenis-jenis tersebut dapat ditentukan berdasarkan penentuan maksud dari analisis kasusnya. Penjelasan Creswell tentang jenis-jenis penelitian studi kasus secara umum mirip dengan Stake (2005), karena memang berpedoman kepada penjelasan Stake. Berdasarkan maksud analisis kasusnya tersebut, Creswell (2007), membagi penelitian studi kasus dapat dibagi menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:

1. Penelitian studi kasus intrumental tunggal

Penelitian studi kasus instrumental tunggal (single instrumental case study) adalah penelitian studi kasus yang dilakukan dengan menggunakan sebuah kasus untuk menggambarkan suatu isu atau perhatian. Pada penelitian ini, penelitinya memperhatikan dan mengkaji suatu isu yang menarik perhatiannya, dan menggunakan sebuah kasus sebagai sarana (instrumen) untuk menggambarkannya secara terperinci.

2. Penelitian studi kasus jamak

Penelitian studi kasus jamak (collective or multiple case study) adalah penelitian studi kasus yang menggunakan banyak (lebih dari satu) isu atau kasus di dalam satu penelitian. Penelitian ini dapat terfokus pada hanya satu isu atau perhatian dan memenfaatkan banyak kasus untuk menjelaskannya. Disamping itu, penelitian ini juga dapat hanya menggunakan satu kasus (lokasi), tetapi dengan banyak isu atau perhatian yang diteliti. Pada akhirnya, penelitian ini juga dapat bersifat sangat kompleks, karena terfokus pada banyak isu atau perhatian dan menggunakan banyak kasus untuk menjelaskannya. Yin (2003a, 2009) mengatakan bahwa untuk melakukan penelitian studi kasus jamak ini, dapat menggunakan penelitian replikasi yang logis, yaitu dengan menggunakan suatu prosedur yang sama yang diberlakukan untuk setiap isu atau kasus. Peneliti kemudian melakukan generalisasi pada setiap isu atau kasus dan memperbandingkannya pada akhir kajian.

3. Penelitian studi kasus mendalam

Penelitian studi kasus mendalam (intrinsic case study) adalah penelitian yang dilakukan pada suatu kasus yang memiliki kekhasan dan keunikan yang tinggi. Fokus penelitian ini adalah pada kasus itu sendiri, baik sebagai lokasi, program, kejadian atau kegiatan. Penelitian studi kasus mendalam ini mirip dengan penelitian naratif yang telah dijelaskan di depan, tetapi memiliki prosedur kajian yang lebih terperinci kepada kasus dan kaitannya dengan lingkungan disekitarnya secara terintegrasi dan apa adanya. Lebih khusus lagi, penelitian studi kasus mendalam merupakan penelitian yang sangat terikat pada konteksnya, atau dengan kata lain sangat terikat pada lokusnya (site-case).

Pendapat Stake (2005) dan Creswell (2007) di atas jika digambarkan secara diagramatis, dapat dilihat pada gambar di bawah. Pada gambar tersebut juga dillustrasikan dengan contoh judul-judul yang menggambarkan isi dari masing-masing jenis. Contoh penelitian studi kasus mendalam yang diberikan dengan judul ‘Kemacetan Lalu-lintas di Kawasan Malioboro, Yogyakarta’, menunjukan adanya keterpaduan antara kasus dengan lokasi penelitiannya. Sementara itu, contoh untuk penelitian studi kasus instrumental tunggal yang berjudul ‘Kemacetan Lalu Lintas di Yogyakarta, Studi Kasus: Kawasan Malioboro’, dan contoh jamaknya adalah ‘Kemacetan Lalu Lintas di Yogyakarta, Studi Kasus: Kawasan Gejayan dan Malioboro’, menunjukkan adanya penggunaan istilah ‘studi kasus’. Penggunaan istilah tersebut secara khusus untuk menunjukkan bahwa kasus yang dipergunakan bersifat sebagai sarana (instrumen) pembukti atas konsep atau teori peneliti. Untuk lebih jelasnya, perhatikan gambar berikut ini:

Gambar: Diagram Jenis-jenis Penelitian Studi Kasus Menurut Stake (2005) dan Creswell (2007) (Sumber: Ilustrasi penulis atas penjelasan Stake (2005) dan Creswell (2007)

Sementara itu, Yin (2003a, 2009) membagi penelitian studi kasus secara umum menjadi 2 (dua) jenis, yaitu penelitian studi kasus dengan menggunakan kasus tunggal dan jamak/ banyak. Disamping itu, ia juga mengelompokkannya berdasarkan jumlah unit analisisnya, yaitu penelitian studi kasus holistik (holistic) yang menggunakan satu unit analisis dan penelitian studi kasus terpancang (embedded) yang menggunakan beberapa atau banyak unit analisis. Penelitian studi kasus disebut terpancang (embedded), karena terikat (terpancang) pada unit-unit analisisnya yang telah ditentukan. Unit analisis itu sendiri dibutuhkan untuk lebih memfokuskan penelitian pada maksud dan tujuannya. Penentuan unit analisis ditentukan melalui kajian teori. Sementara itu, pada penelitian studi kasus holistik, penelitian dilakukan lebih bebas dan terfokus pada kasus yang diteliti dan tidak terikat pada unit analisis, karena unit analisisnya menyatu dalam kasusnya itu sendiri.

Jika dikaitkan antara kedua cara pengelompokkan tersebut, maka jenis-jenis penelitian studi kasus dapat disusun ke alam suatu matriks 2 x 2. Dengan demikian, menurut Yin (2003a, 2009), penelitian studi kasus dapat terdiri dari 4 (empat) jenis. Untuk lebih jelasnya, hubungan antar kedua pengelompokkan tersebut, perhatikan gambar matriks jenis-jenis penelitian studi kasus berikut ini:

Gambar: Jenis-jenis Dasar Penelitian Studi Kasus (Sumber: Yin, 2009, 46)

Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa terdapat 4 (empat) jenis penelitian studi kasus, yaitu:

1. Penelitian studi kasus tunggal holistik (jenis 1 dan 2)

Penelitian studi kasus tunggal holistik (holistic single-case study) adalah penelitian yang menempatkan sebuah kasus sebagai fokus dari penelitian. Yin (2009) menjelaskan bahwa terdapat 5 (lima) alasan untuk menggunakan hanya satu kasus di dalam penelitian studi kasus, yaitu:

a) Kasus yang dipilih mampu menjadi bukti dari teori yang telah dibangun dengan baik. Teori yang dibangun memiliki proposisi yang jelas, yang sesuai dengan kasus tunggal yang dipilih sehingga dapat dipergunakan untuk membuktikan kebenarannya.

b) Kasus yang dipilih merupakan kasus yang ekstrim atau unik. Kasus tersebut dapat berupa keadaan, kejadian, program atau kegiatan yang jarang terjadi, dan bahkan mungkin satu-satunya di dunia, sehingga layak untuk diteliti sebagai suatu kasus.

c) Kasus yang dipilih merupakan kasus tipikal atau perwakilan dari kasus lain yang sama. Pada dasarnya, terdapat banyak kasus yang sama dengan kasus yang dipilih, tetapi dengan maksud untuk lebih menghemat waktu dan biaya, penelitian dapat dilakukan hanya pada satu kasus saja, yang dipandang mampu menjadi representatif dari kasus lainnya.

d) Kasus dipilih karena merupakan kesempatan khusus bagi penelitinya. Kesempatan tersebut merupakan jalan yang memungkinkan peneliti untuk dapat meneliti kasus tersebut. Tanpa adanya kesempatan tersebut, peneliti mungkin tidak memiliki akses untuk melakukan penelitian terhadap kasus tersebut.

e) Kasus dipilih karena bersifat longitudinal, yaitu terjadi dalam dua atau lebih pada waktu yang berlainan. Kasus yang demikian sagat tepat untuk penelitian yang dimaksudkan untuk membuktikan terjadinya perubahan pada suatu kasus akibat berjalannya waktu.

Sementara itu, perbedaan antara penelitian studi kasus holistik (jenis 1) dan terpancang (jenis 2) adalah pada jumlah unit analisis yang digunakan. Pada jenis yang pertama, jumlah unit analisis yang digunakan pada umumnya hanya satu atau bahkan sama sekali unit analisisnya tidak dapat dijelaskan, karena terintegrasi dengan kasusnya. Dalam penelitian studi kasus yang demikian, unit analisis tidak dapat ditentukan karena kasus tersebut juga sekaligus merupakan unit analisis dari penelitian.

Sedangkan jenis yang kedua, penelitian studi kasus terpancang memiliki unit analisis lebih dari satu. Hal ini dapat terjadi karena didasari oleh hasil kajian teori yang menuntut adanya lebih dari satu unit analisis. Tuntutan penggunaan lebih dari satu unit analisis biasanya disebabkan oleh tujuan penelitian yang ingin menjelaskan hubungan secara komprehensif dan detail setiap bagian dari kasus secara lebih mendalam. Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa semakin banyak jenis unit analisis yang digunakan, sifat alamiah penelitian akan semakin kabur, karena cenderung menjadi penelitian yang terikat pada keberadaan unit analisisnya.

2. Penelitian studi kasus jamak (jenis 3 dan 4)

Pada dasarnya, penelitian studi kasus jamak adalah penelitian yang menggunakan lebih dari satu kasus. Penggunaan jumlah kasus lebih dari satu pada penelitian studi kasus pada umumnya dilakukan untuk mendapatkan data yang lebih detail, sehingga diskripsi hasil penelitian menjadi semakin jelas dan terperinci. Hal ini juga didorong oleh keinginan untuk mengeneralisasi konsep atau teori yang dihasilkan. Dengan kata lain, penggunaan jumlah kasus yang banyak dimaksudkan untuk menutupi kelemahan yang terdapat pada penggunaan kasus tunggal, yang dianggap tidak dapat digeneralisasikan.

Proses analisis pada penelitian studi kasus jamak berbeda dengan penelitian kuantitatif yang menggunakan jumlah responden yang banyak. Pada peneltian kuantitatif, data dari responden dapat diolah secara terintegrasi dengan formula tertentu, sehingga menghasilkan satu kesatuan konsep dalam bentuk model hubungan antar data. Di dalam penelitian studi kasus jamak, Yin (2003a, 2009) menyarankan menggunakan logika replikasi sebagai pendekatan di dalam proses analisisnya. Pada proses ini, setiap kasus harus mengalami prosedur penelitian yang sama, hingga menghasilkan hasil penelitiannya masing-masing. Selanjutnya, hasil dari masing-masing penelitian di perbandingkan, untuk menentukan kesamaan dan perbedaannya. Hasilnya dipergunakan untuk menjelaskan pertanyaan penelitian pada umumnya dan khususnya pencapaian atas maksud dan tujuan penelitian.

Jika dibuatkan dalam suatu diagram, jenis-jenis penelitian studi kasus menurut Yin (2003a, 2009) in dapat dilihat pada gambar diagram pada halaman berikut. Pada diagram tersebut juga dapat dilihat contoh judul-judul penelitian yang menggambarkan isi dari masing-masing jenis. Contoh penelitian studi kasus holistik tunggal yang diberikan dengan judul ‘Kemacetan Lalu-lintas di Kawasan Malioboro, Yogyakarta’, dan jamaknya adalah ‘Kemacetan Lalu-lintas di Kawasan Gejayan dan Malioboro, Yogyakarta’, menunjukan adanya keterpaduan antara kasus dengan lokasi penelitiannya sebagai suatu penelitian yang holistik. Sementara itu, contoh untuk penelitian studi kasus terpancang tunggal yang berjudul ‘Pencampuran Moda Transportasi Sebagai Penyebab Kemacetan, Studi Kasus: Kawasan Malioboro, Yogkyakarta’, dan contoh jamaknya adalah ‘Pencampuran Moda Transportasi Sebagai Penyebab Kemacetan, Studi Kasus: Kawasan Malioboro dan Gejayan, Yogkyakarta’, menunjukkan adanya penggunaan istilah ‘studi kasus’. Penggunaan istilah tersebut secara khusus untuk menunjukkan bahwa kasus yang dipergunakan bersifat sebagai sarana (instrumen) pembukti atas konsep atau teori peneliti. Sementara judul utamanya ‘Pencampuran Moda Transportasi Sebagai Penyebab Kemacetan’ menggambarkan unit analisis yang mengikat (memancang) fokus penelitiannya. Untuk lebih jelasnya, perhatikan gambar berikut ini:

Gambar 10: Jenis-jenis Penelitian Studi Kasus Menurut Yin (2003a, 2009) (Sumber: Yin, 2009, 46)

Penjelasan penelitian studi kasus tunggal holistik menurut Yin (2003a, 2009) di atas mirip dengan jenis penelitian studi kasus mendalam yang dijelaskan oleh Stake (2005) dan Crewell (2007). Jenis penelitian ini pada dasarnya menempatkan kasus sebagai obyek penelitian yang perlu diteliti untuk mengungkapkan esensi mendalam yang terdapat di balik kasus, tanpa terikat pada unit analisis, karena unit analisis penelitian ini menyatu dengan kasusnya.

Sementara itu, penelitian kasus jamak menurut Yin (2003a, 2009), khususnya yang bersifat holistik mirip dengan penjelasan penelitian studi kasus jamak yang dijelaskan oleh Stake (2005) dan Crewell (2007). Yang menarik adalah adanya penelitian studi kasus terpancang yang dijelaskan oleh Yin (2003a, 2009), yang tidak dijelaskan oleh Stake (2005) dan Crewell (2007). Keberadaan penelitian studi kasus terpancang ini sebenarnya menunjukkan bahwa penelitian studi kasus dapat diarahkan pada fokus tertentu, sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian, yaitu dengan menggunakan unit analisis. Jadi, unit analisis sebenarnya merupakan bentuk upaya dari pengarahan penelitian studi kasus tersebut. Unit analisis itu ditentukan melalui kajian teori. Dengan demikian, penelitian studi kasus terpancang merupakan penelitian studi kasus yang menggunakan paradigma positivistik.