Rabu, 04 Maret 2009

Pengertian Penelitian Kualitatif

Penelitian studi kasus yang dibahas pada blog ini adalah penelitian studi kasus kualitatif. Untuk lebih memahami lebih mendalam tentang penelitian studi kasus kualitatif tersebut, terlebih dahulu lebih baik memahami penelitian kualitatif. Berikut ini adalah bahasan tentang pengertian penelitian kualitatif tersebut.

Banyak buku teks dan jurnal metodologi penelitian telah mengupas secara mendalam pengertian penelitian kualitatif. Pada sub bagian ini, pembahasan pengertian penelitian kualitatif tidak dimaksudkan untuk merangkum seluruh pengertian tersebut. Pembahasan lebih difokuskan pada beberapa konsep dasar yang dapat digunakan sebagai landasan untuk merumuskan karakteristik penelitian kualitatif. Untuk lebih memperjelas posisi dan kekhususannya, beberapa bagian pembahasan dilakukan dengan memperbandingkannya dengan penelitian kuantitatif.
Penelitian kualitatif sering diposisikan berada pada sisi lain atau berkebalikan dengan penelitian kuantitatif.

Secara harfiah, sesuai dengan namanya, penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur kuantifikasi, perhitungan statistik, atau bentuk cara-cara lainnya yang menggunakan ukuran angka (Strauss dan Corbin, 1990 dalam Hoepfl, 1997 dan Golafshani, 2003). Kualitatif berarti sesuatu yang berkaitan dengan aspek kualitas, nilai atau makna yang terdapat dibalik fakta. Kualitas, nilai atau makna hanya dapat diungkapkan dan dijelaskan melalui linguistik, bahasa, atau kata-kata. Oleh karena itu, bentuk data yang digunakan bukan berbentuk bilangan, angka, skor atau nilai; peringkat atau frekuensi; yang biasanya dianalisis dengan menggunakan perhitungan matematik atau statistik (Creswell, 2002).

Menurut Creswell (2003), pendekatan kualitatif adalah pendekatan untuk membangun pernyataan pengetahuan berdasarkan perspektif-konstruktif (misalnya, makna-makna yang bersumber dari pengalaman individu, nilai-nilai sosial dan sejarah, dengan tujuan untuk membangun teori atau pola pengetahuan tertentu), atau berdasarkan perspektif partisipatori (misalnya: orientasi terhadap politik, isu, kolaborasi, atau perubahan), atau keduanya. Lebih jelasnya, pengertian tersebut adalah sebagai berikut:

A qualitative approach is one in which the inquirer often makes knowledge claims based primarily on constructivist perspectives (i.e. the multiple meanings of individual experiences, meanings socially and historically constructed, with an intent of developing a theory or pattern) or advocacy/ participatory perspectives (i.e. political, issue-oriented, collaborative or change oriented) or both (Creswell, 2003, hal.18).
Lebih jauh, Creswell menjelaskan bahwa di dalam penelitian kualitatif, pengetahuan dibangun melalui interprestasi terhadap multi perspektif yang berbagai dari masukan segenap partisipan yang terlibat di dalam penelitian, tidak hanya dari penelitinya semata. Sumber datanya bermacam-macam, seperti catatan observasi, catatan wawancara pengalaman individu, dan sejarah.

Penelitian yang menggunakan penelitian kualitatif bertujuan untuk memahami obyek yang diteliti secara mendalam. Lincoln dan Guba (1982) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif bertujuan untuk membangun ideografik dari body of knowledge, sehingga cenderung dilakukan tidak untuk menemukan hukum-hukum dan tidak untuk membuat generalisasi, melainkan untuk membuat penjelasan mendalam atau ekstrapolasi atas obyek tersebut.

Berbeda dengan penelitian kuantitatif yang bertujuan memperoleh teori-teori atau hukum-hukum hubungan kausalitas yang general yang memungkinkan peneliti melakukan prediksi dan pengendalian seperti yang dilakukan pada penelitian ilmu alam, penelitian kualitatif berupaya membangun pemahaman (verstehen) dan penjelasan atas perilaku manusia sebagai mahkluk sosial (Muhadjir, 2000).

Penelitian kualitatif bermaksud menggali makna perilaku yang berada dibalik tindakan manusia. Interpretasi makna terhadap perilaku ini tidak dapat digali melalui verifikasi teori sebagai generalisasi empirik, seperti yang dilakukan pada panelitian kuantitatif. Dengan kata lain, penelitian kualitatif bermaksud memahami obyeknya, tetapi tidak untuk membuat generalisasi melainkan membuat ekstrapolasi atas makna di balik obyeknya tersebut. Para peneliti kualitatif mengungkapkan dan menjelaskan kenyataan adanya makna yang menyeluruh dibalik obyek yang ditelitinya, yang terbentuk dari keterhubungan berbagai nilai-nilai kehidupan dan kepercayaan, bukan dari ekstrasi atau turunan dari konteks pengertiannya yang menyeluruh, seperti pernyataan David dan Sutton (2004) berikut ini:

The qualitative researcher is more interested in the fact that meanings come in packages, wholes, ways of life, belief system and so on. Attention to ‘meanings; in this sense is a reference to the ‘holistic’ fabic of interconnected meaning that form a way of life and wich cannot remain meaningful if they are extracted and broken down into separate units outside of their meaningful context (David dan Sutton, 2004, hal. 35).
Untuk mengkaji realita kehidupan secara menyeluruh, tidak dapat dilakukan hanya melalui pengalaman seseorang yang bersifat individual, tetapi harus melalui mempertimbangkan jalinan antar individu anggota kelompok masyarakat yang diteliti. Kehidupan itu sendiri terdiri dari unit-unit, baik individu maupun kelompok yang saling terkait dalam suatu jaringan yang saling mendukung dan melengkapi, sehingga tidak dapat hanya dipandang dari satu sisi saja. Pada dasarnya, untuk menggambarkan kehidupan manusia, kajian penelitian tidak dapat dilakukan dengan memisahkan dan mereduksinya menjadi unit-unit yang saling terpisah, seperti yang dilakukan pada penelitian kuantitatif. Singkatnya, mengkaji kehidupan manusia secara holistik dapat lebih bermakna daripada melihatnya dalam kondisi terpisah-pisah. Hal tersebut seperti dijelaskan dalam pernyataan berikut ini:

Qualitative research claims to describe lifeworlds ‘from the inside out’, from the point of view of the people who participate. By so doing it seeks to contribute to a better understanding of social realities and to draw attention to processes, meaning patterns and structural features. Those remain closed to non-participants, but are also, as a rule, not consciously known by actors caught up in their unquestioned daily routine (Flick, Kardorff, dan Steinke, 2004, hal. 3).
Pendekatan kualitatif berasumsi bahwa manusia adalah makhluk yang aktif yang mempunyai kebebasan berkemauan dan berkehendak, yang perilakunya hanya dapat dipahami dalam konteks budayanya, dan perilakunya yang seringkali tidak didasarkan oleh hukum sebab-akibat seperti yang terdapat pada hukum-hukum alam. berbeda dengan benda yang sekedar dapat bergerak seperti yang diamati dalam penelitian ilmu alam, manusia adalah mahkluk sosial yang dapat bertindak dan berkehendak atas dasar berbagai alasan-alasan humanistik, sehingga seringkali tidak dapat dijelaskan melalui pendekatan yang mekanistik. Karena pada dasarnya manusia tidak sepenuhnya merupakan benda atau mahkluk yang mekanistis, cara-cara mekanistik yang menggunakan pendekatan kuantifikasi tidak tepat digunakan untuk menelitinya.

Untuk mencapai hal tersebut, penelitian kualitatif lebih menekankan pada bahasa atau linguistik sebagai sarana penelitiannya. Sarana bahasa lebih mampu untuk mengungkapkan perasaan, nilai-nilai yang berada dibalik perilaku manusia (Lawson dan Garrod dalam Daivid dan Sutton, 2004). Keunikan manusia sebenarnya bukanlah terletak pada kemampuan berpikirnya, melainkan terletak pada kemampuannya berbahasa (Suriasumantri, 2007). Bahasa merupakan cerminan ungkapan perasaan dan nilai-nilai manusia.

Manusia hidup adalah manusia yang memiliki kemampuan untuk mengungkapkan perasaan dan pikirannya ke dalam bentuk perbuatan dan pengunkapan linguistik, baik lisan maupun tertulis. Tindakan dan ucapan merupakan satu kesatuan yang dibutuhkan untuk merefleksikan perasaan dan pikiran seseorang. Jatidiri manusia pada prinsipnya berkaitan erat dengan fungsi dirinya sebagai pemakai bahasa. Tanpa kemampuan berbahasa yang baik, manusia tidak mampu berpikir dan mengungkapkan hasilnya secara sistematis dan teratur.

Disamping itu, bahasa mencerminkan tradisi, nilai dan budaya masyarakat yang menggunakannya. Makna dibalik bahasa yang digunakan suatu masyarakat mencerminkan konteks budaya dan lingkungannya. Perilaku tindakan dan penggunaan bahasa merupakan satu kesatuan yang membentuk norma-norma yang diciptakan untuk mengatur kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, melalui sarana bahasa, penelitian kualitatif mampu mengangkat pluralisasi hubungan-hubungan sosial kemasyarakatan secara lebih mendalam (Flick, 2002). Sarana ukuran atau angka yang dipergunakan dalam penelitian kuantitatif memang bersifat obyektif, solid, tidak terbantahkan dan obyektif, tetapi tidak dapat menggambarkan detail-detail penjelasan perbedaan dalam cara memandang terhadap makna secara mendalam.

Sementara itu, meskipun penggunaan sarana bahasa di dalam penelitian kualitatif dianggap menyebabkan hasil penelitian bersifat subyektif, tetapi biasanya kaya akan detail makna yang berada dibalik tradisi, budaya dan perilaku manusia dan masyarakat yang diteliti. Subyektifitas itu sendiri secara alamiah muncul karena hasil penelitian sangat terkait dengan konteks lingkungan penelitian, sehingga memiliki perbedaan terhadap hasil penelitian yang terdapat di tempat lain.

Agar mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang makna yang berada dibalik obyek yang diteliti, Denzin dan Lincoln (1994) menyatakan bahwa penelitian kualitatif harus dilaksanakan pada kondisi alami. Guba dan Lincoln (1985) menyebut pendekatan penelitian yang demikian sebagai pendekatan naturalistik. Menurut pendekatan ini, data penelitian harus diperoleh pada kondisi dan situasi yang sebenarnya, atau bukan di laboratorium. Pengamatan pada lingkungan alami akan menunjukkan hubungan antara tindakan dan linguistik digunakan dalam kondisi yang sebenarnya secara alamiah, dengan konteks lingkungan yang mempengaruhinya. Jika pengamatan terhadap tindakan dan bahasa dilakukan dil aboratorium, dapat diibaratkan seperti pengamatan yang dilakukan pada sebuah panggung sandiwara. Observasi penggunaan lingustik pada konteks alamiah yang sebenarnya dapat mengungkapkan fungsi lingustik tidak hanya sebagai alat untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan seseorang, tetapi menggambarkan peran pentingnya di dalam pemanfaatan nilai-nilai budaya dan tradisi di dalam kehidupan masyarakat yang sebenarnya.

Sebagian besar penulis dan peneliti mensyaratkan bahwa pengambilan data penelitian kualitatif harus dilakukan sedekat mungkin, bahkan beberapa metoda penelitian kualitatif, seperti metoda penelitian ethnografi, mensyaratkan penelitinya terlibat langsung di dalam setting yang ditelitinya, seperti yang dijelaskan oleh Patton (2001) berikut ini:

Qualitative research uses a naturalistic approach that seeks to understand phenomena in context-specific settings, such as "real world setting [where] the researcher does not attempt to manipulate the phenomenon of interest" (Patton, 2001, hal. 39)
Oleh karena itu, data penelitian kualitatif tidak hanya berupa kondisi perilaku masyarakat yang diteliti, tetapi juga kondisi dan situasi lingkungan disekitarnya. Untuk mencapai hal tersebut jenis data yang digunakan bervariasi, diantaranya adalah pengalaman personal, introspektif, sejarah kehidupan, hasil wawancara, observasi lapangan, perjalanan sejarah dan hasil pengamantan visual, yang menjelaskan momen-momen dan nilai-nilai rutinitas dan problematik kehidupan setiap individu yang terlibat di dalam penelitian. Lebih jelasnya, perhatikan dua pengertian komprehensif penelitian kualitatif, berikut ini:

Qualitative research is a situated activity that locates the observer in the world. It consists of a set interpretive, material practices transform the world. They turn the world into a series of representations, including filed notes, interviews, conversations, photographs, recordings, and memos to self. This means that qualitative researches study things in their natural settings, attempting to make sense of, or interpret, phenomena in terms of the meanings people bring to them (Denzin and Lincoln, 2005, hal. 3).

Qualitative research is multimethod in focus, involving an interpretive, naturalistic approach to its subject matter. This means that qualitative researchers study things in their natural settings, attempting to make sense of, or interpret, phenomena in terms of the meanings people bring to them. Qualitative research involves the studied use and collection of a variety of empirical materials - case study, personal experience, introspective, life story, interview, observational, historical, interactional, and visual texts - that describe routine and problematic moments and meanings in individuals’ lives. Accordingly, qualitative research deploys wide range of interconnected methods, hoping always to get a better fix on the subject matter at hand (Denzin 1994, hal. 2).

Untuk memenuhi kebutuhan data yang beranekaragam tersebut, penelitian kualitatif menggunakan berbagai metoda pengumpulan data, seperti wawancara individual, wawancara kelompok, penaelitian dokumen dan arsip, serta penelitian lapangan. Antara metoda satu dengan yang lainnya tidak saling terpisah, tetapi saling berkaitan dan saling mendukung untuk menghasilkan data yang sesuai dengan kebutuhan. Data yang diperoleh dari suatu metoda disalingsilangkan dengan data yang diperoleh melalui metoda yang lain, sehingga menghasilkan data yang dapat dipercaya (valid) dan sesuai dengan kenyataan (reliabel).

Untuk menjalankan tuntutan metoda yang demikian, penelitian kualitatif menempatkan manusia sebagai figur terpenting dalam penelitian. Berbeda dengan penelitian kuantiatif yang menempatkan kuisener, rumus matematika dan statistik sebagai instrumen pengumpulan dan pengolahan data, penelitian kualitatif memposisikan manusia sebagai instrumen utama penelitian. Peneliti sebagai manusia berhubungan langsung dan tidak dapat dipisahkan dalam proses pengumpulan, analisis dan interpretasi data. Oleh karena itu, realita yang berhasil digali dan ditemukan melalui penelitian kualitatif sering dianggap bersifat subyektif, karena sangat tergantung dari kapasitas dan kredibilitas pihak-pihak yang terkait, baik peneliti maupun partisipan yang terlibat di dalamnya (Golafshani, 2003).

Untuk menghindari temuan yang subyektif, penelitian kualitatif menggunakan bermacam sumber data. Denzin dan Lincoln (2005) menjelaskan bahwa sumber data yang dipergunakan diantaranya adalah catatan lapangan, wawancara, percakapan, foto, rekaman dan berbagai artefak, dokumen atau arsip yang terdapat di lapangan. Setiap sumber data tersebut disalingsilangkan agar data yang diperoleh dapat dipercaya (valid) dan sesuai dengan kebutuhan (reliabel).

Untuk mencapai hal tersebut, metoda yang dipergunakan adalah metoda triangulasi, yaitu metoda yang menggunakan beberapa sumber data untuk mencapai konvergensi data sehingga mencapai data yang valid (Golafshani, 2003). Secara khusus, Lincoln dan Guba (1985), menyebut reabilitas di dalam penelitian kualitatif dipenuhi melalui kredibilitas (credibility) partisipan, konsistensi (consistent) dan transferabilitas (transferability) temuan. Sedangkan validitas dapat dicapai melalui kualitas (quality) data, ketepatan (rigor) dan kejujuran (trustworthiness) pengungkapannya.

Berdasarkan pembahasan di depan, maka secara hakikat keilmuan, karakteristik penelitian kualitatif dapat disimpulkan sebagai berikut:

Secara ontologis
, penelitian kualitatif memandang realita terbentuk dari hakikat manusia sebagai subyek yang mempunyai kebebasan menentukan pilihan berdasarkan sistem makna individu. Oleh karena itu, fenomena sosial, budaya dan tingkah laku manusia tidak cukup dengan merekam hal-hal yang tampak secara nyata, melainkan juga harus mencermati secara keseluruhan dalam totalitas dengan konteksnya. Hal ini perlu dilakukan karena tingkah laku sebagai fakta tidak dapat dilepaskan atau dipisahkan begitu saja dari konteks yang melatarbelakanginya, serta tidak dapat disederhanakan ke dalam hukum-hukum tunggal yang bebas nilai dan bebas konteks. Subyek penelitian kualitatif adalah tingkah laku manusia sebagai individu yang menjadi anggota masyarakat. Di sini ditekankankan perspektif pandangan sosio-psikologis, yang sasaran utamanya adalah pada individu dengan kepribadiannya dan pada interaksi antara pendapat internal dan eksternal tingkah laku seseorang terhadap latar belakang kehidupan sosialnya. Para peneliti kualitatif meyakini bahwa di dalam masyarakat terdapat keteraturan yang terbentuk secara alami seiring dengan perjalanan sejarah, yang dilatarbelakangi oleh nilai-nilai tertentu. Oleh karena itu, tugas peneliti adalah menemukan kebenaran dibalik keteraturan itu pada umumnya dan khususnya nilai-nilai yang melatarbelakanginya, bukan menciptakan atau membuat sendiri batasan-batasannya berdasarkan teori atau aturan yang ada. Jadi, pada hakikatnya penelitian kualitatif adalah satu kegiatan sistematis untuk melakukan eksplorasi atas teori dari fakta di dunia nyata, bukan untuk menguji teori atau hipotesis. Penelitian kualitatif tetap mengakui fakta empiris sebagai sumber pengetahuan tetapi tidak menggunakan teori yang ada sebagai landasan untuk melakukan verifikasi.

Secara epistemologis
, di dalam penelitian kualitatif, proses penelitian merupakan sesuatu yang lebih penting dibanding dengan hasil yang diperoleh. Karena itu peneliti sebagai instrumen utama pengumpul data merupakan salah satu karakteristik utama penelitian kualitatif. Hanya dengan keterlibatan peneliti dalam proses pengumpulan datalah hasil penelitian dapat dipertanggungjawakan. Khusus dalam proses analisis dan pengambilan kesimpulan, paradigma kualitatif menggunakan induksi analitis dan ekstrapolasi. Induksi analitis adalah satu pendekatan pengolahan data ke dalam konsep-konsep dan kateori-kategori, jadi bukan dalam bentuk frekuensi. Untuk mencapai hal tersebut, sarana berpikir yang digunakan tidak dalam bentuk numerik, melainkan dalam bentuk deskripsi bahasa, yang ditempuh dengan cara merubah data ke dalam penjelasan-penjelasan yang bersifat formulatif. Sedangkan ekstrapolasi adalah suatu cara pengambilan kesimpulan yang dilakukan secara simultan pada saat proses induksi analitis dan dilakukan secara bertahap dari satu makna ke makna lainnya, kemudian dirumuskan suatu pernyataan teoritis.

Secara aksiologis
, konsep atau teori yang diperoleh dari proses penelitian kualitatif dapat dimanfaatkan untuk membangun kehidupan suatu kelompok masyarakat yang berlandaskan kepada nilai-nilai dasar kehidupan mereka sendiri. Nilai-nilai yang digali melalui interaksi antara peneliti dengan partisipannya dapat menghasilkan teori lokal dan spesifik yang dapat merepresentasikan kehidupan sosial, budaya dan tradisi, yang terkritalisasi melewati sejarah kehidupan individu atau masyarakat yang diteliti. Pemanfaatan nilai-nilai spesifik tentu saja akan sangat sesuai dengan kehidupan individu atau masyarakat yang diteliti. Apabila nilai-nilai yang bersifat lokal dan spesifik tersebut hendak digeneralisasikan dan dimanfaatkan pada lokasi atau kasus yang lain, harus melalui proses khusus yang disebut sebagai transferabilitas. Proses tranferabilitas biasanya dilakukan melalui serangkaian proses dialog teori yang memperbandingkan antara konsep atau teori yang ditemukan dengan teori yang ada dan telah diakui. Melalui proses tersebut, nilai-nilai yang bersifat lokal, spesifik dan kontekstual dapat di dkonfirmasikan terhadap teori-teori general sebagai upaya untuk memberikan ilustrasi kontribusinya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan manfaatnya di dalam pembangunan kehidupan masyarakat secara umum.

Selasa, 03 Maret 2009

Pengertian Penelitian Studi Kasus

Selama sekitar lima belas tahun lebih, tepatnya sejak tahun 1993, seiring dengan semakin populernya penelitian studi kasus, banyak pengertian penelitian studi kasus telah dikemukakan oleh para pakar tentang penelitian studi kasus (Creswell, 1998). Secara umum, pengertian-pengertian tersebut mengarah pada pernyataan bahwa, sesuai dengan namanya, penelitian studi kasus adalah penelitian yang menempatkan sesuatu atau obyek yang diteliti sebagai ‘kasus’. Tetapi, pandangan tentang batasan obyek yang dapat disebut sebagai ‘kasus’ itu sendiri masih terus diperdebatkan hingga sekarang. Perdebatan ini menyebabkan perbedaan pengertian di antara para ahli tersebut.

P
erdebatan tersebut mengarah pada munculnya 2 (dua) kelompok. Kelompok pertama berpendapat bahwa penelitian studi kasus adalah penelitian terhadap suatu obyek penelitian yang disebut sebagai ‘kasus’. Kelompok ini menekankan bahwa penelitian studi kasus merupakan penelitian yang dilakukan terhadap obyek atau sesuatu yang harus diteliti secara menyeluruh, utuh dan mendalam. Dengan kata lain, kasus yang diteliti harus dipandang sebagai obyek yang berbeda dengan obyek penelitian pada umumnya. Sedangkan yang kedua memandang bahwa penelitian studi kasus adalah sebuah metoda penelitian yang dibutuhkan untuk meneliti atau mengungkapkan secara utuh dan menyeluruh terhadap ‘kasus’. Meskipun tampaknya hampir sama dengan kelompok yang pertama, kelompok ini berangkat dari adanya kebutuhan metoda untuk meneliti secara khusus tentang obyek atau ‘kasus’ yang menarik perhatian untuk diteliti.

P
engertian dari kelompok yang pertama ini berasal dari pengertian yang dikemukakan oleh Guba dan Lincoln (1985), lebih diperjelas oleh Stake (1994 dan 2005), kemudian dikembangkan oleh Creswell (1998, 2007) dan Dooley (2002), serta diikuti oleh Hancock dan Algozzine (2006), yang menyatakan bahwa penelitian studi kasus adalah penelitian yang dilakukan terhadap suatu ‘obyek’, yang disebut sebagai ‘kasus’, yang dilakukan secara seutuhnya, menyeluruh dan mendalam dengan menggunakan berbagai macam sumber data. Lebih khusus lagi, Stake (2005) menyatakan bahwa penelitian studi kasus bukanlah sebuah pilihan metodologis, tetapi sebuah pilihan untuk mencari kasus yang perlu diteiiti. Dengan kata lain, keberadaan suatu kasus merupakan penyebab diperlukannya penelitian studi kasus. Perhatikan pernyataan-pernyataan berikut ini:

A case study is an exploration of a ‘bounded system’ or a case (or multiple cases) over time through detailed, in-depth data collection involving multiple sources of information rich in context (Creswell, 1988, 61).

Case study research is a qualitative research approach in which the investigator explore a bounded system (a case) or multiple bonuded systems (cases) over time through detailed, indepth data collection involving multiple source information (e.g., observations, interviews, audiovisual material, and documents and reports), and reports a case description and case-based themes
(Creswell, 2007, 73).

Case study is not a methodological choice but a choice of what to be studied
(Stake, 2005, 443).

Menurut kelompok pengertian ini, pada penelitian kualitatif, terdapat obyek penelitian yang harus dipandang secara khusus, agar hasil penelitiannya mampu menggali substansi terperinci dan menyeluruh dibalik fakta. Obyek penelitian yang demikian, yang disebut sebagai ‘kasus’, harus dipandang sebagai satu kesatuan sistem dibatasi (bounded system) yang terikat pada tempat dan kurun waktu tertentu. Sebagai sistem tertutup, kasus terbentuk dari banyak bagian, komponen, atau unit yang saling berkaitan dan membentuk suatu fungsi tertentu (Stake, 2005). Oleh karena itu,
dibutuhkan suatu metoda yang tepat untuk untuk dapat mengungkapkan mengapa dan bagaimana bagian, komponen, atau unit tersebut saling berkaitan untuk membentuk fungsi. Metoda tersebut harus mampu menggali fakta dari berbagai sumber data, menganalisis dan menginterpretasikannya untuk mengangkat substansi mendasar yang terdapat dibalik kasus yang diteliti. Metoda penelitian tersebut adalah metoda penelitian studi kasus.

Oleh karena itu, t
idak semua obyek dapat diteliti dengan menggunakan penelitian studi kasus (Flyvbjerg 2006; Stake, 1995 dan 2005; Creswell, 1998). Menurut Creswell (1998), suatu obyek dapat diangkat sebagai kasus apabila obyek tersebut dapat dipandang sebagai suatu sistem yang dibatasi yang terikat dengan waktu dan tempat kejadian obyek. Mengacu pada kriteria tersebut, beberapa obyek yang dapat diangkat sebagai kasus dalam penelitian studi kasus adalah kejadian atau peristiwa (event), situasi, proses, program, dan kegiatan (Stake, 1995; Creswell, 1998; Hancock dan Algozzine, 2006), seperti yang dijelaskan oleh Creswell (2002) berikut ini:

A case study is a problem to be studied, which will reveal an in-depth understanding of a “case” or bounded system, which involves understanding an event, activity, process, or one or more individuals (Creswell, 2002, 61).

Creswell (1998) menjelaskan bahwa suatu penelitian dapat disebut sebagai penelitian studi kasus apabila proses penelitiannya dilakukan secara mendalam dan menyeluruh terhadap kasus yang diteliti, serta mengikuti struktur studi kasus seperti yang dikemukakan oleh Lincoln dan Guba (1985), yaitu: permasalahan, konteks, isu, dan pelajaran yang dapat diambil. Banyak penelitian yang telah mengikuti struktur tersebut tetapi tidak layak disebut sebagai penelitian studi kasus, karena tidak dilakukan secara menyeluruh dan mendalam. Penelitian-penelitian tersebut pada umumnya hanya menggunakan jenis sumber data yang terbatas, tidak menggunakan berbagai sumber data seperti yang disyaratkan dalam penelitian studi kasus, sehingga hasilnya tidak mampu mengangkat dan menjelaskan substansi dari kasus yang diteliti secara fundamental dan menyeluruh. Oleh karena itu, diperlukan kehati-hatian dan kecermatan untuk mencantumkan kata ‘studi kasus’ pada judul suatu penelitian, khususnya penelitian kualitatif.


Sementara itu, kelompok pengertian yang
kedua berkembang berdasarkan pendapat Yin (1984; 2003a; 2009), yang secara khusus memandang dan menempatkan penelitian studi kasus sebagai sebuah metoda penelitian. Creswell menyebut metoda penelitian studi kasus sebagai salah satu strategi penelitian kualitatif (Creswell, 1998). Kebutuhan terhadap metoda penelitian studi kasus dikarenakan adanya keinginan dan tujuan peneliti untuk mengungkapkan secara terperinci dan menyeluruh terhadap obyek yang diteliti. Pada pengertian yang dikemukakanya, Yin (1984; 2003a; 2003b; 2009) tidak secara eksplisit menyebut obyek penelitian studi kasus sebagai kasus, tetapi ia menyebut ciri-ciri dari obyek tersebut, yang menggambarkan ciri-ciri suatu kasus. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut ini:

The case study research method as an empirical inquiry that investigates a contemporary phenomenon within its real-life context; when the boundaries between phenomenon and context are not clearly evident; and in which multiple sources of evidence are used (Yin, 1984, 23; Yin, 2003a, 13).

Menurut pengertian di atas, penelitian studi kasus adalah sebuah metoda penelitian yang secara khusus menyelidiki fenomena kontemporer yang terdapat dalam konteks kehidupan nyata, yang dilaksanakan ketika batasan-batasan antara fenomena dan konteksnya belum jelas, dengan menggunakan berbagai sumber data. Dalam kaitannya dengan waktu dan tempat, secara khusus Yin (2003a
; 2009) menjelaskan bahwa obyek yang dapat diangkat sebagai kasus bersifat kontemporer, yaitu yang sedang berlangsung atau telah berlangsung tetapi masih menyisakan dampak dan pengaruh yang luas, kuat atau khusus pada saat penelitian dilakukan. Secara sekilas, metoda penelitian ini sama dengan metoda penelitian kualitatif pada umumnya. Tetapi jika penjelasan Yin (2003a) secara teoritis maupun dalam bentuk contoh-contoh praktisnya (Yin, 2003b) dipelajari lebih seksama, maka akan didapatkan beberapa kekhususan yang menyebabkan metoda penelitian ini memiliki perbedaan siginifikan dengan metoda penelitian kualitatif lainnya. Pada perkembangan penggunaanya, dibandingkan dengan kelompok yang pertama, kelompok ini lebih banyak diikuti, karena melalui buku-bukunya, Yin dianggap mampu menjelaskan secara terperinci kekhususan metoda penelitian studi kasus yang harus diikuti berikut dengan contoh-contoh terapannya (Meyer, 2001).

Salah satu kekhususan penelitian studi kasus sebagai metoda penelitian adalah pada tujuannya. Penelitian studi kasus sangat tepat digunakan pada penelitian yang bertujuan menjawab pertanyaan ‘bagaimana’ dan ‘mengapa’ (Yin, 2003a
, 2009) terhadap sesuatu yang diteliti. Melalui pertanyaan penelitian yang demikian, substansi mendasar yang terkandung di dalam kasus yang diteliti dapat digali dengan mendalam. Dengan kata lain, penelitian studi kasus tepat digunakan pada penelitian yang bersifat eksplanatori, yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk menggali penjelasan kasualitas, atau sebab dan akibat yang terkandung di dalam obyek yang diteliti. Penelitian studi kasus tidak tepat digunakan pada penelitian eksploratori, yaitu penelitian yang berupaya menjawab pertanyaan ‘siapa’, ‘apa’, ‘dimana’, dan ‘seberapa banyak’, sebagaimana yang dilakukan pada metoda penelitian eksperimental (Yin, 2003a; 2009).

Kekhususan penelitian studi kasus yang lain adalah pada sifat obyek yang diteliti. Menurut Yin (2003a
; 2009), kasus di dalam penelitian studi kasus bersifat kontemporer, masih terkait dengan masa kini, baik yang sedang terjadi, maupun telah selesai tetapi masih memiliki dampak yang masih terasa pada saat dilakukannya penelitian. Oleh karena itu, penelitian studi kasus tidak tepat digunakan pada penelitian sejarah, atau fenomena yang telah berlangsung lama, termasuk kehidupan yang telah menjadi tradisi atau budaya. Sifat kasus yang demikian juga didukung oleh Creswell (1998) yang menyatakan bahwa penelitian studi kasus berbeda dengan penelitian grounded theory dan phenomenologi yang cenderung berupaya meneliti teori-teori klasik, atau defintif, yang telah mapan (definitive theories) yang terkandung di dalam obyek yang diteliti.

Pendapat Yin (2003a
; 2003b; 2009) tersebut diatas didukung oleh Dooley, (2005), dan VanWynsberghe (2007) yang menyatakan bahwa kasus sebagai obyek penelitian dalam penelitian studi kasus digunakan untuk memberikan contoh pelajaran dari adanya suatu perlakuan dalam konteks tertentu. Kasus yang dipilih dalam penelitian studi kasus harus dapat menunjukkan terjadinya perubahan atau perbedaan yang diakibatkan oleh adanya perilaku terhadap konteks yang diteliti. Menurut mereka, penelitian studi kasus pada awalnya bertujuan untuk mengambil lesson learned yang terdapat dibalik perubahan yang ada, tetapi banyak penelitian studi kasus yang ternyata mampu menunjukkan adanya perbedaan yang dapat mematahkan teori-teori yang telah mapan, atau menghasilkan teori dan kebenaran yang baru. Untuk lebih jelasnya, perhatikan pernyataan-pernyataan mereka berikut ini:

Case studies aim to give the reader a sense of “being there” by providing a highly detailed, contextualized analysis of an “an instance in action”. The researcher carefully delineates the “instance,” defining it in general terms and teasing out its particularities (VanWynsberghe, 2007, hal. 4).

The case study is ideal for generalizing using the type of test that Karl Popper called “falsification,” which in social science forms part of critical reflexivity. Falsification is one of the most rigorous tests to which a scientific proposition can be subjected: If just one observation does not fit with the proposition, it is considered not valid generally and must therefore be either revised or rejected
(Flyvbjerg, 2006, 225).

Case study research is one method that excels at bringing us to an understanding of a complex issue and can add strength to what is already known through previous research
(Dooley, 2005, 335).

The advantages of the case study method are its applicability to reallife, contemporary, human situations and its public accessibility through written reports. Case study results relate directly to the common reader’s everyday experience and facilitate an understanding of complex real-life situations
(Dooley, 2005, 344).

Dari sifat kasusnya yang kontemporer, dapat disimpulkan bahwa penelitian studi kasus cenderung bersifat memperbaiki atau memperbaharui teori. Dengan kata lain, penelitian studi kasus berupaya mengangkat teori-teori kotemporer (contemporary theories). Penelitian studi kasus berbeda dengan penelitian grounded theory, phenomenologi dan ethnografi yang bertujuan meneliti dan mengangkat teori-teori mapan atau definitif yang terkandung pada obyek yang diteliti (Meyer, 2001). Ketiga jenis penelitian tersebut berupaya mengangkat teori secara langsung dari data temuan di lapangan (firsthand data) dan cenderung menghindari pengaruh dari teori yang telah ada. Sementara itu, penelitian studi kasus menggunakan teori yang sudah ada sebagai acuan untuk menentukan posisi hasil penelitian terhadap teori yang ada tersebut. Posisi teori yang dibangun dalam penelitian studi kasus dapat sekedar bersifat memperbaiki, melengkapi atau menyempurnakan teori yang ada berdasarkan perkembangan dan perubahan fakta terkini. Meskipun demikian, banyak hasil penelitian studi kasus yang berhasil mamatahkan teori yang ada dan menggantikannya dengan teori yang baru (Dooley, 2005).


Menurut Yin (2003a, 2009), posisi pemanfaatan teori yang telah ada di dalam penelitian studi kasus dimaksudkan untuk menentukan arah dan fokus penelitian. Yin (2003a, 2009) menyebut arahan yang dibangun pada awal proses penelitian tersebut sebagai ‘proposisi’. Meskipun tampaknya mirip, peran dan fungsi proposisi memiliki perbedaan yang signifikan dengan hipotesis pada penelitian kuantitatif. Jika hipotesis merupakan jawaban sementara atas pertanyaan penelitian, proposisi dibangun bukan untuk menetapkan jawaban sementara, tetapi merupakan arahan teoritis yang digunakan untuk membangun protokol penelitian. Protokol penelitian adalah petunjuk praktis pengumpulan data yang harus diikuti oleh peneliti agar penelitian terfokus pada konteksnya. Pada proses analisis data, proposisi kembali digunakan sebagai pijakan untuk mengetahui posisi hasil penelitian terhadap teori-teori yang ada. Dengan mengetahui posisi tersebut, dapat ditetapkan apakah hasil penelitiannya mendukung, memperbaiki, memperbaharui, atau bahkan mematahkan teori yang ada. Creswell (1998) menyebut penggunaan kajian teori pada proses awal penelitian yang demikian sebagai kajian before-end theory.

Sedikit berbeda dengan pendapat Yin diatas, Stake (1994 dan 2005) dan Creswell (1998) menyatakan bahwa teori dapat digunakan sebagai acuan di dalam proses analisis, setelah fakta terhadap kasus diperoleh. Kajian posisi fakta terhadap teori dilakukan pada bagian akhir (after-end theory) tersebut dilakukan untuk menentukan posisi hasil penelitian terhadap teori yang ada. Hal ini dimaksudkan agar pada pengumpulan data dapat dilakukan lebih leluasa, tidak terlalu terikat pada arahan atau prinsip-prinsip tertentu.
Melalui pengumpulan data yang yang demikian, peneliti dapat menggali dan mengkaji nilai-nilai yang berada dibalik obyek yang ditelitinya secara lebih terperinci.

Seperti halnya Stake (1995
; 2005) dan Creswell (1998), Yin (2003a; 2009) berpendapat bahwa penelitian studi kasus menggunakan berbagai sumber data untuk mengungkapkan fakta dibalik kasus yang diteliti. Keragaman sumber data dimaksudkan untuk mencapai validitas dan realibilitas data, sehingga hasil penelitian dapat diyakini kebenarannya. Fakta dicapai melalui pengkajian keterhubungan bukti-bukti dari beberapa sumber data sekaligus, yaitu dokumen, rekaman, observasi, wawancara terbuka, wawancara terfokus, wawancara terstruktur dan survey lapangan. Disamping fakta yang mendukung proposisi, fakta yang bertentangan terhadap proposisi juga diperhatikan, untuk menghasilkan keseimbangan analisis, sehingga obyektivitas hasil penelitian dapat terjaga.

Seperti telah dijelaskan di depan, meskipun tampaknya berbeda, kedua kelompok pengertian tersebut pada dasarnya menuju pada satu pemahaman yang sama. Keduanya memberikan penjelasan yang tidak bertentangan, bahkan saling melengkapi. Kelompok pengertian yang pertama memulai penjelasan dari adanya obyek penelitian, yang disebut sebagai kasus, yang membutuhkan jenis penelitian kualitatif
tertentu, dengan metoda penelitian yang khusus, yaitu metoda penelitian studi kasus. Sementara itu, kelompok yang kedua memandang penelitian studi kasus sebagai salah satu jenis metoda penelitian kualitatif yang dibutuhkan untuk digunakan untuk meneliti suatu obyek yang layak disebut sebagai kasus. Kedua kelompok pendapat ini memiliki kesamaan pemahaman yaitu menempatkan penelitian studi kasus sebagai jenis penelitian tersendiri, sebagai salah satu jenis penelitian kualitatif.

Selamat Datang Pada Penelitian Studi Kasus

Assalamualaikum wr.wb.

Jika diperhatikan dengan seksama, banyak jenis strategi penelitian kualitatif menempatkan posisi obyek penelitian sebagai ‘kasus’ seperti halnya di dalam penelitian studi kasus. Edwards (1998) mengkategorikan penelitian-penelitian yang demikian, termasuk penelitian studi kasus, sebagai penelitian berbasis kasus (case-based research). Penelitian berbasis kasus adalah penelitian kualitatif yang menggunakan kasus untuk menjelaskan suatu fenomena dan mengkaitkannya dengan teori tertentu. Istilah penelitian berbasis kasus mengemuka karena berkembangnya fakta bahwa penelitian kualitatif lebih menekankan kualitas dan kedalaman analisis terhadap obyek penelitian. Pada hampir di seluruh jenis penelitian kualitatif, obyek penelitian dikaji tidak dari sudut permukaan yang dangkal atau bagian per-bagian, tetapi dikaji secara menyeluruh dan terperinci. Menurut penelitian berbasis kasus, obyek penelitian yang dipandang secara demikian disebut sebagai ‘kasus’. Mengacu pada pemahaman ini, Edwards (1998) memasukkan hampir seluruh jenis penelitian kualitatif, termasuk penelitian grounded theory, ethnografi, phenomenologi, dan penelitian studi kasus ke dalam jenis penelitian berbasis kasus.

Hingga saat ini masih terus berlangsung perdebatan tentang posisi ‘kasus’ sebagai obyek penelitian dalam penelitian kualitatif pada umumnya dan khususnya pada penelitian studi kasus. Banyak peneliti yang memandang bahwa setiap obyek penelitian, khususnya obyek pada penelitian kualitatif adalah ‘kasus’, Konsekuensinya, semua penelitian kualitatif adalah penelitian studi kasus. Oleh karena itu, di dalam banyak laporan penelitian, khususnya penelitian kualitatif, kata-kata ‘studi kasus’ banyak dicantumkan sebagai bagian dari judul. Beberapa peneliti yang sekaligus juga penulis, seperti Stake (1994, 2005), Creswell (1998, 2007), dan Yin (1994, 2003a, 2003b, 2009) menolak anggapan demikian. Mereka berupaya menunjukkan perbedaan antara penelitian studi kasus dengan penelitian berbasis kasus. Mereka memandang bahwa penelitian studi kasus merupakan salah satu jenis penelitian dalam penelitian kualitatif yang memiliki kedudukan yang sama seperti halnya dengan jenis strategi penelitian kualitatif yang lain, seperti penelitian ethnografi, phenomenologi, grounded theory, dan biografi (Creswell, 1998, 2007).

Secara khusus, pada tahun 1982, Yin memperkenalkan penelitian studi kasus sebagai metoda penelitian tersendiri, yang terpisah dan berbeda dari ragam penelitian kualitatif yang lain. Yin lebih memperjelas pendapatnya dengan menulis buku khusus yang secara terperinci menjelaskan argumen, kriteria dan proses penelitian studi kasus, yang telah diterbitkan hingga empat edisi yaitu pada tahun 1986, 1994, 2003, dan 2009. Pendapat Yin tersebut mendapatkan banyak tanggapan. Sebagian besar tidak menentangnya, tetapi cenderung mendukung dengan menambahkan argumen-argumen untuk lebih mempertegas kekhususan posisi, kedudukan, dan memperjelas arahan penggunaannya.

Selamat datang di blog tentang penelitian studi kasus. Blog ini sekedar mengungkapkan pemikiran saya tentang penelitian studi kasus. Selamat menikmati pemikiran-pemikiran saya itu. Insya Allah, saya terus menambahkan pemikiran-pemikiran saya tersebut, hingga suatu saat kelak bisa menjadi sebuah buku.

Wassalamualaikum wr.wb.